Sejarah
PO.Eka-Mira berasal dari sebuah toko kain yang berada di Jl Mojopahit
No. 188 Mojokerto yang dimiliki oleh Bp Fendi Haryanto, pada sekitar
tahun 1971, tercetus ide dari sang pemilik toko (Bp Fendi Haryanto )
untuk membangun bisnis transportasi masal model bis antar kota. Sesuai
dengan nama tokonya nama yang dipakai adalah PO Flores.
PO
Flores ini melayani trayek Antar Kota Antar Propinsi Jurusan Surabaya –
Solo PP, dan selain itu juga didirikan PO Surya Agung yang melayani
trayek AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) Jurusan Malang – Surabaya –
Ponorogo/Magetan. PO ini seangkatan dengan beberapa PO lama seperti Maju
Mapan, Sumber Kencono, Surya Jaya, Rukun Makmur, Adi Jaya, Tunggal
Jaya, Hasti, Jaya Raya, Agung Express, Piala, dll, meski sebagian besar
diantaranya sudah tidak beroperasi lagi karena sudah gulung tikar.
Secara
signifikan PO Flores mengalami perkembangan karena image-nya sebagai
bis banter. Perilaku konsumen Jatim dan sebagian Jateng yang cenderung
menyukai bis-bis banter semakin membuat nama PO Flores melambung meski
sebagian masyarakat menilai bis ini sebagai bis yang cenderung
ugal-ugalan. Meskipun sebenarnya tidak semua armada PO Flores
ugal-ugalan karena beberapa armadanya masih menggunakan mesin keluaran
lama yang kemampuannya tidak sebagus mesin-mesin baru.
PO
ini sempat mengoperasikan bis bumel yg mewah, dilengkapi dengan AC (
Air Conditioner ) dengan nama Surya Agung, yang seperti dijelaskan di
atas bis ini melayani rute Malang – Surabaya – Madiun – Ponorogo/Magetan
PP. Kala itu Surya Agung menjadi simbol bis-bis mewah, karena selalu
mengguankan body dari karoseri terbaik, demikian dengan pula dengan
fasilitas AC-nya yang jarang dipunyai oleh PO lain.
Di
saat puncak kejayaan Flores inilah terjadi tragedi besar yang menjadi
klimaks dari PO Flores, kecelakaan hebat terjadi di daerah Karang Anyar
Sekitar tahun 1981. Bis yang dikemudikan Bp Marwan berisi rombongan
pelajar SMP Wijana Jombang yang melakukan study tour (karya wisata)
ditabrak Kereta Api yang melintas yang merenggut banyak korban pun tak
bisa dihindarkan. Imbasnya, oleh DLLAJR Pusat (sekarang Dishub) PO
Flores dilarang melayani trayek AKAP (Antar Kota Antar Propinsi)
sehingga PO ini hanya beroperasi sampai dengan Mantingan (perbatasan
Jatim – Jateng ). Sedangkan perjalanan PO Surya Agung tidak mengalami
kendala sedikitpun dalam pengoperasiannya.
Akibat
sanksi yang dibebankan oleh DLLAJR, PO Flores semakin mengalami
kesulitan dalam pengoperasian armada-armadanya yang hanya melayani
melayani rute Surabaya – Mantingan PP. Banyak konsumen yang lebih
cenderung memilih PO lain untuk menghindari resiko dioper untuk
penumpang yang bertujuan ke daerah-daerah diluar jangkauan PO Flores.
Jika hal ini dibiarkan terjadi, bukan tidak mungkin PO Flores
lama-kelamaan akan kolaps.
Untuk
mengatasi masalah tersebut manajemen menyiapkan EKA dan MIRA untuk
menggantikan Flores melayani rute Surabaya – Solo PP. Nama EKA dan MIRA
diambil dari nama-nama anak dari Bp Fendi Haryanto. Keduanya dipisahkan
baik secara manajemen dan juga jam keberangkatannya. PO EKA biasanya
diberangkatkan dari Surabaya pada pagi sampai petang hari, sedangkan
armada PO MIRA diberangkatkan sebaliknya (petang sampai pagi hari) dari
Surabaya. PO Flores akhirnya difokuskan melayani Rute Surabaya –
Ponorogo PP. Sedangkan PO Surya Agung tetap melayani rute Malang –
Surabaya – Madiun – Ponorogo/Magetan PP.
Seperti
halnya Flores, EKA-MIRA mengalami perkembangan yang menggembirakan
karena respons positif dari konsumen. Bahkan seiring berjalannya waktu
EKA-MIRA tumbuh menjadi PO yang besar dan keberadaannya patut
diperhitungkan di jalur ini. Untuk memantapkan eksistensinya, tahun 1990
PO EKA membuat terobosan dengan meluncurkan 1 buah armada ber-livery
biru yang melayani rute Surabaya – Madiun – Solo – Jogja PP menggunakan
mesin Nissan Diesel CB dengan karoseri Malindo yang pada waktu itu
sedang jadi tren (seperti adiputro sekarang). Namun itu tidak bertahan
lama karena dalam waktu beberapa bulan bis yang dikemudikan Bp. Darno
ini mengalami kecelakaan hebat yaitu menabrak truk bermuatan elpiji.
Kejadian itu menewaskan sang pengemudi dari menghanguskan bis tersebut.
Hal itu tidak menyurutkan langkah PO EKA-MIRA untuk tetap melanjutkan
ekspansinya ke rute Surabaya – Madiun – Solo – Jogja PP. Sekitar 2 tahun
kemudian semua armada PO EKA-MIRA telah melayani rute tersebut, dan
mengganti warna dasar armada-armadanya yang tadinya putih menjadi
abu-abu berikut dengan livery-nya.
Karena
dirasa tidak lagi memberikan kontribusi maksimal dan untuk meremajakan
armadanya, seluruh armada PO Flores dan PO Surya Agung sebanyak 52 unit
yang seluruhnya bermesin Mitsubishi BM dijual ke PO AKAS II beserta
trayek, kru dan teknisinya. Inilah akhir bakti kepada manajemen dan
sekaligus akhir riwayat dari kedua PO ini. Sekitar tahun 1992 manajemen
kembali membuat terobosan dengan meluncurkan PO ITA (berasal dari nama
anak Ibu MIRA) yang melayani rute AKDP Surabaya – Madiun – Ponorogo PP.
Setelah
lama setia menggunakan mesin Nissan Diesel CB pada tahun 1993 membeli
27 unit chasis Hino AK 176, terdiri dari 25 unit berchasis panjang dan 2
unit masih menggunakan chasis pendek. Chasis-chasis tersebut disiapkan
untuk armada-armada ber-AC. EKA dan MIRA maing-masing mendapatkan bagian
10 unit armada ATB (AC Tarip Biasa), sedangkan ITA mendapatkan bagian 2
unit. Sisanya 5 unit chasis disiapkan untuk menjadi armada PATAS
(sebelum menjadi CEPAT). Dari armada-armada inilah cikal bakal EKA CEPAT
berasal sebagai upaya penjajakan merambah ke segmen kelas non Ekonomi.
Armada
EKA CEPAT berkembang menjadi pilihan di jalurnya seiring dengan mulai
digantikannya armada-armada Hino AK 176 dengan armada-armada bermesin
belakang seperti Nissan Diesel RB dan Hino RK2HR. Perlahan-lahan EKA
CEPAT mulai mampu menyisihkan pesaing-pesaingnya, dan menjadi pilihan
utama sekaligus pemain tunggal di jalurnya.
Demikian
juga dengan armada bumelnya (EKA-MIRA) pun mulai meremajakan
armada-armada lama dengan armada keluaran terbaru seperti Nissan Diesel
CB dan Hino AK3HR. Terbukti dengan peremajaan yang teratur dan pelayanan
terhadadap konsumen yang prima membuat PO ini tetap bertahan di tengah
persaingan yang semakin keras. Banyak PO lain yang mulai berjatuhan
akibat kerasnya persaingan jalur Surabaya – Madiun – Solo – Jogja
seperti Tunggal Jaya, Jaya Raya, Maju Mapan, Trigaya, Jaya Utama, Mapan
dll.
Namun
tren positif tak berlaku pada ITA, karena pamornya yang kalah mengkilap
dengan para kompetitornya. ITA akhirnya angkat koper peta persaingan
jalur Surabaya-Ponorogo pada akhir dekade 90-an. Armada-armadanya yang
sebagian besar bermesin Nissan Diesel CB banyak dibeli oleh PO Pangeran
dan PO Restu.
Sekitar
tahun 2007 armada bumel EKA dihapus untuk memfokuskan diri pada armada
CEPAT, sedangkan armada eks bumel EKA digabungkan ke MIRA. Hal ini
semakin mempermudah konsumen PO ini untuk membedakan antara armada
Eksekutif/CEPAT (EKA) dan armada Bumel (MIRA) dalam memilih karena
orientasi segmen pasar yang sudah dibedakan.
Namun
setelah MIRA hanya berorientasi ke kelas ekonomi, justru membuat PO
ini mengalami mengalami sedikit kemunduran. Jumlah armada MIRA semakin
berkurang. Namun sekitar tahun 2009 MIRA mulai bangkit dari keterpurukan
dengan menjual seluruh armada lama non ATB dan mendatangkan sekitar 100
armada baru ber AC (ATB). Persaingan jalur Surabaya – Madiun – Solo –
Jogja kelas ekonomi pun kembali ramai. Banyak PO lain yang ikut
mendatangkan armada ATB agar bisa bertahan, termasuk di rute/jalur lain.
Konsumen pun semakin diuntungkan dengan hal ini karena semakin
dimanjakan dengan banyaknya armada baru yang melayani.
Perjalanan
panjang Flores yang akhirnya menjadi ke EKA- MIRA menarik untuk disimak
dan bisa dijadikan inspirasi untuk kita semua. Sebuah upaya untuk
bertahan ditengah kerasnya persaingan dan perkembangan jaman yang
menuntut kemampuan membaca situasi, berpikir dan bertindak yang prima.
Dan hasilnya tidak sia-sia karena EKA- MIRA merupakan salah satu ikon
bis di Jatim, dan akan tetap dan berusaha selalu menjadi kebanggaan
Masyarakat Jatim.
0 komentar:
Posting Komentar